Nyanyian Internasionale di Monas: Prabowo, Buruh, dan Janji yang Harus Dibayar

Daerah446 Dilihat

ETIK NEWS— Di bawah langit Jakarta yang mendung, 200.000 buruh berkumpul di Lapangan Monas, seperti lautan manusia yang mengepalkan tangan dan menyuarakan harapan yang belum pernah terpenuhi. Bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi pertemuan sejarah yang penuh janji yang harus ditepati.

Pukul 10.00 WIB, Presiden Prabowo Subianto naik ke podium di tengah sorakan massa. Dengan suara lantang, ia mengumumkan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan mengevaluasi 86 regulasi ketenagakerjaan yang dianggap tak adil. “Mana undang-undang yang tidak berpihak pada buruh, akan kita perbaiki!” tegasnya, membangkitkan semangat yang menggetarkan tanah air.

Acara semakin hidup dengan teriakan Raffi Ahmad yang memimpin yel-yel dari ribuan buruh: “Buruh bersatu!” yang disambut dengan lantang, “Bela negara!”—gema dari perjuangan panjang yang belum selesai.

Dalam pidatonya, Prabowo menyinggung masalah PHK massal di tahun 2023 yang menimpa ratusan ribu buruh, serta masalah outsourcing yang masih menjadi beban besar bagi pekerja Indonesia. “Saya mendukung penuh penghapusan outsourcing secara bertahap,” katanya, janji yang jika diwujudkan, akan menjadi tonggak penting dalam perbaikan nasib buruh.

Bukan hanya buruh formal yang diperhatikan. Prabowo juga menyoroti nasib 4,2 juta pekerja rumah tangga, mayoritas perempuan, yang sering terlupakan. Ia berjanji RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga akan segera dibahas dan disahkan oleh DPR dalam waktu tiga bulan.

Tak lupa, Prabowo mengingatkan keberanian Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh karena memperjuangkan hak-haknya, untuk diangkat sebagai Pahlawan Nasional—sebuah langkah simbolis yang harus membayar utang negara terhadap mereka yang berjuang dengan nyawa.

Namun, masalah yang tak kalah penting adalah diskriminasi usia kerja, di mana 45% angkatan kerja Indonesia berusia di atas 35 tahun dan banyak yang terpaksa bekerja di sektor informal. Ini bukan hanya kerugian bagi pekerja, tetapi juga bagi perekonomian negara yang kehilangan Rp450 triliun setiap tahunnya akibat hal ini.

Acara itu menarik perhatian dunia. Pemerintah Tiongkok memuji langkah Prabowo sebagai model stabilitas sosial, sementara Amerika Serikat melihat ini sebagai langkah demokratis Indonesia yang mulai menyeimbangkan kepentingan investasi dengan hak pekerja.

Di akhir acara, ketika Internasionale dinyanyikan, suasana kembali bergema seperti zaman Bung Karno—“Kaum buruh harus menjadi motor penggerak revolusi!” Lagu itu bukan hanya simbol seremonial, tetapi cambuk sejarah yang tak pernah berhenti mengayun. Buruh Indonesia tahu, janji yang tak ditepati adalah utang yang harus dibayar dengan tindakan nyata.

Pada akhirnya, buruh Indonesia menyadari bahwa sejarah tidak pernah tidur. Jika pintu yang baru dibuka itu kembali tertutup, mereka akan mengetuknya lagi, bahkan mendobraknya jika perlu.***