Kolum Opini
Ketika Buku Tak Lagi Jadi Teman: Mencari Arah Literasi Lampung Selatan
Oleh: Dedi Miryanto, S.E., M.Si
ETIK NEWS- Setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional selalu datang dengan pidato penuh semangat tentang bagaimana kita membangun generasi yang cerdas. Namun, ada satu pertanyaan yang terus terngiang di benak saya: Apakah buku masih menjadi teman bagi anak-anak dan masyarakat Lampung Selatan? Atau kini buku hanya menjadi simbol pendidikan, bukan bagian dari kehidupan sehari-hari?
Paradoks Literasi di Lampung Selatan
Di lapangan, kita sering melihat banyak anak yang mampu membaca, namun tidak memahami apa yang mereka baca. Banyak pula orang dewasa yang aktif di media sosial, namun tak mampu membedakan informasi yang benar dan yang disinformasi. Ini adalah paradoks literasi yang kita hadapi saat ini: kita bisa membaca, tetapi belum tentu literat.
Literasi yang Terabaikan
Di banyak desa dan kecamatan, buku bacaan sangat sulit ditemukan. Perpustakaan desa, jika ada, jarang dikunjungi dan koleksinya sangat terbatas. Guru-guru kita berusaha keras, tetapi seringkali terkendala oleh kurikulum yang belum memberikan ruang untuk mengembangkan minat baca. Orang tua, yang sibuk dengan rutinitas harian, belum banyak yang menjadikan membaca sebagai bagian dari pola pengasuhan anak.
Masalah ini bukan hanya soal dana, tetapi lebih kepada orientasi. Apakah kita benar-benar menjadikan literasi sebagai kebutuhan budaya atau hanya sebagai program kerja sesaat?
Menghidupkan Literasi di Tengah Keseharian
Saya percaya solusi literasi tidak harus selalu melibatkan biaya besar. Kita bisa memulainya dari tempat-tempat sederhana, seperti warung kopi yang menjadi pusat berkumpul pemuda, atau pengajian ibu-ibu yang bisa disisipi pojok baca. Dari majelis taklim yang tidak hanya mengulas ayat, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang terungkap dalam bacaan populer atau lokal.
Kita bisa mengajak anak-anak untuk menceritakan kembali apa yang mereka baca, bukan hanya mengisi soal pilihan ganda. Lomba menulis cerita kampung, podcast lokal, atau menulis catatan harian yang dikumpulkan di rumah baca sederhana bisa menjadi langkah kecil yang membawa dampak besar.
Kebijakan yang Menyentuh Komunitas
Pemerintah daerah memiliki peran kunci dalam hal ini. Literasi tidak bisa hanya diletakkan dalam program Dinas Pendidikan, tetapi harus masuk dalam skema pembangunan desa, kegiatan pemuda, PKK, hingga musrenbang. Literasi harus didukung oleh berbagai sektor: perusahaan lokal, BUMDes, hingga lembaga zakat dan CSR swasta.
Yang lebih penting adalah pendampingan yang baik. Kita memerlukan fasilitator literasi yang paham konteks lokal, bukan hanya pengiriman buku yang tidak terpakai.
Optimisme untuk Lampung Selatan
Meski tantangan masih banyak, saya tetap optimis. Lampung Selatan tidak kekurangan semangat. Saya melihat pemuda-pemuda desa mulai membuka ruang baca, para guru muda aktif membuat konten edukatif, dan beberapa komunitas mulai sadar akan pentingnya membaca. Benih-benih ini harus kita sirami bersama agar tumbuh menjadi pohon literasi yang kokoh.
Literasi bukan hanya soal angka statistik. Ini adalah cara kita membentuk cara berpikir, membangun karakter, dan mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti.
Penutup: Kembali ke Buku, Kembali ke Makna
Jika kita ingin Lampung Selatan tumbuh dengan kecerdasan kolektif, kita harus memulai dengan literasi. Kita harus mengembalikan buku sebagai sahabat hidup, bukan hanya sebagai pajangan di rak.
Tentu, kita tidak menolak teknologi. Sebaliknya, kita harus memastikan teknologi mendekatkan kita pada bacaan yang bermakna, bukan menjauhkan kita dari makna itu sendiri.
Karena ketika buku tak lagi jadi teman, kita kehilangan pegangan dalam berpikir. Namun, saat literasi hidup kembali, harapan akan tumbuh — perlahan, pasti, dan mengakar.***