ETIK NEWS — Meski dana desa telah mengalir sejak 2015, praktik penyalahgunaan masih membayangi 2.654 desa di Provinsi Lampung. Untuk mengurai akar masalah dan mencari solusi nyata, PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) menggelar diskusi publik pada 3 Mei 2025, berkolaborasi dengan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Lampung dan akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL).
Acara yang berlangsung di salah satu aula kampus UBL ini mengangkat sejumlah persoalan utama: bantuan pangan tidak tepat sasaran, lemahnya tata kelola keuangan desa, hingga keterbatasan aparat di lapangan. Kasus mencuat di Desa Bandar Agung, di mana lebih dari 1.067 saksi sudah diperiksa dalam penyidikan tipikor dana desa yang ditangani Polda Lampung.
Menurut Dirkrimsus Polda Lampung, penanganan tindak pidana korupsi dana desa berbeda dengan kasus kriminal umum. Mereka menekankan pentingnya kerja sama lintas instansi, mulai dari Babinkamtibmas di tingkat desa hingga unit Tipikor di Polres. Meski demikian, sejumlah tantangan tetap besar, antara lain:
- Money politic pada pencalonan kepala desa, yang menciptakan tekanan politik pasca terpilih.
- Rendahnya pemahaman pengelolaan keuangan desa, sehingga aturan UU No. 6 Tahun 2014 kerap diabaikan.
- Kurangnya transparansi dalam setiap tahapan pengelolaan dana desa, memicu ruang bagi praktik kecurangan.
- Penolakan terhadap pengawasan oleh aparat hukum maupun LSM, yang menutup akses penegak hukum ke desa.
- Ketiadaan mekanisme check and balance yang sehat, membuat kepala desa leluasa menyalahgunakan kewenangan.
- Pengangkatan perangkat desa yang tidak berbasis kompetensi, mengurangi efektivitas kontrol internal.
Dr. Zainudin, akademisi UBL, menyoroti bahwa banyak aparat desa sama sekali belum memahami tugas pokok dan fungsi mereka sesuai UU Desa. Ia menambahkan, “Setiap desa menerima alokasi sekitar Rp 1 miliar per tahun. Jika tata kelolanya buruk, potensi kerugian negara akan sangat besar.”
Karena nilai dugaan penyimpangan biasa di bawah Rp 1 miliar, penanganan kasus tak berada di ranah KPK, melainkan di tangan kepolisian, kejaksaan, dan aparat penegak hukum lainnya. PERMAHI diakui Dr. Zainudin, berperan sebagai pengawal proses hukum agar tidak ada yang luput dari pengawasan.
Dalam diskusi, Tri Rahmadona, Ketua PERMAHI Lampung, menyoroti minimnya sumber daya manusia (SDM) di kejaksaan untuk turun langsung ke desa. Ia juga mengkritik fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang kerap tak paham tugasnya atau terlalu terikat pada kepala desa. Program seperti “Jaksa Garda Desa” pun perlu dievaluasi, mengingat keterbatasan personel di lapangan. Bahkan, tak semua Babinkamtibmas dan Babinsa memahami peran mereka dalam mengawasi penggunaan dana desa.
Para pembicara sepakat bahwa kunci solusi terletak pada tiga hal utama:
- Pengawasan ketat sejak tahap awal penyaluran dana, agar alur penggunaan dapat dipantau dengan real time.
- Edukasi hukum dan tata kelola keuangan desa kepada kepala desa, perangkat, dan BPD, untuk mencegah kesalahan prosedural.
- Kolaborasi lintas sektor—masyarakat, aparat, akademisi, dan mahasiswa hukum—untuk menghadirkan mekanisme pengawasan yang nyata.
Sebagai wujud komitmen, PERMAHI merencanakan skala prioritas intervensi di sejumlah desa atau kecamatan yang dinilai rawan. Langkah-langkahnya meliputi:
- Advokasi regulatif bagi aparat desa yang kesulitan menerapkan peraturan.
- Koordinasi dengan Inspektorat Provinsi Lampung dan melakukan audiensi langsung kepada Gubernur Lampung guna mendorong kebijakan penguatan pengawasan desa.
- Pembinaan desa-desa percontohan secara bertahap, melibatkan akademisi dan mahasiswa hukum UBL sebagai model kolaborasi antara masyarakat sipil dan pemerintah daerah.
“Penyelewengan dana desa bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga tantangan struktural dan sistemik,” ujar Tri Rahmadona. “Dengan semangat kolaborasi lintas elemen, kami berharap pengelolaan dana desa di Lampung bisa lebih transparan, akuntabel, dan benar-benar berpihak pada rakyat.”
Diskusi publik ini menegaskan bahwa upaya pencegahan dan penanganan penyelewengan dana desa memerlukan sinergi berkelanjutan. Jika dibiarkan, potensi kerugian negara dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa akan semakin menipis.***